Qs. Annahl

Selamat datang di blogger Zainal Masri->>Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Qs. An-Nahl:125)...!!

Senin, 04 November 2013

BERPUASALAH DENGAN KEIKHLASAN YANG UTUH


Hadirin sekalian yang saya muliakan!
Sebentar lagi bulan suci ramadhan akan menyongsong kita. Disana seluruh umat Islam akan diuji, bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tapi juga menahan semua hal yang berhubungan dengan kenikmatan dunia. Yang ingin saya bicarakan kali ini bukanlah sebuah perenungan mengenai dalil-dalil agama, mengapa puasa diwajibkan atas kita. Namun saya ingin bicara tentang suatu hal yang mungkin lebih hakiki, bagaimana puasa kemudian menjadi gaya hidup dan menjadi industri menjelang hari raya Idul Fitri.
Dewasa ini, bulan puasa tampaknya telah menjadi sebuah paradoks dan ritual kemewahan yang menyerupai rutinitas manusia, khususnya di Indonesia. Saat dimana seharusnya seluruh umat Islam diwajibkan melakukan pengekangan nafsu dan syahwat, disaat yang sama sebagian besar orang kemudian merasa berkewajiban untuk menyiapkan kemewahan yang berlebihan dibanding hari-hari biasanya di luar bulan suci Ramadhan. Makanan memang tidak tersedia di meja makan ketika fajar hingga menjelang maghrib, namun ketika waktu sahur dan berbuka tiba, maka suguhan makanan dan minuman yang tidak biasa terlihat, mulai disajikan. Toko-toko, mal-mal, restoran-restoran berlomba untuk menawarkan paket berbuka puasa yang tidak biasanya. Berpuasa lalu hanya menjadi ritual di siang hari, dan di malam hari semua orang merasa berhak mabuk dalam kebebasan nafsunya.
Hadirin sekalian yang saya hormati!
Berpuasa tentulah memiliki makna kesederhanaan. Jika yang kita konsumsi di bulan ramadhan jauh lebih mewah dari yang kita konsumsi di hari-hari biasa, maka sesungguhnya kita tidak sedang mengekang hawa nafsu, kita justru sedang menggunakan bulan ramadhan sebagai alasan untuk melampiaskan nafsu untuk hidup bermewah-mewahan.
Bulan puasa nampaknya memang telah menjadi momentum pembenaran, untuk mendapatkan sesuatu yang tidak mungkin didapatkan di sebelas bulan sebelumnya. Mal-mal dan pusat perbelanjaan menjadi lebih semarak dari biasanya, perang diskon dan paket lebaran terpajang di hampir setiap sudut perbelanjaan.  Transaksi  meningkat  tajam,  tabungan  habis terkuras, sementara sebagian orang menonton karena warung tempat  mereka  bekerja  tutup  sebulan  penuh.  Orang-orang yang sedang berpuasa, merasa bisa melupakan sejenak rasa lapar dan hausnya dengan berbelanja, toh transaksi keuangan tidak membatalkan puasa seseorang.
Hadirin sekalian yang saya banggakan!
Lalu kita dengan angkuhnya melarang orang lain menggoda iman berpuasa kita. Restoran tidak boleh buka di siang hari, tapi supermarket ramai dikunjungi oleh orang-orang yang berpuasa. Kita melarang tempat hiburan malam untuk buka, tapi orang yang berpuasa enggan memberikan sedekahnya bagi pekerja yang harus kehilangan penghasilan karena tutupnya tempattempat tersebut.
Kita juga mengharamkan setiap pemandangan yang mengakibatkan godaan atas rusak atau berkurangnya pahala dari puasa kita, sementara kita sendiri secara  berlebihan  membeli  semua  persiapan  buka  puasa, seakan kita berhak untuk makan berlebihan ketika maghrib menjelang.
Inilah paradoks bulan ramadhan, puasa lalu menjadi alasan bahwa lapar dan haus yang kita tahankan   dari fajar hingga petang adalah bentuk pengorbanan tiada tara, dan karenanya kita berhak untuk menerima kebebasan kita dari petang hingga fajar esoknya. Puasa lalu menjadi semacam alasan kita untuk meminta orang lain agar tidak melakukan godaan-godaan duniawi. Kita seakan-akan ketakutan pada godaan, sehingga merasa perlu menciptakan larangan ini dan larangan itu agar godaan tidak mendatangi kita. Padahal, bukankah puasa adalah ibadah melawan godaan? bukannya meniadakan godaan sehingga kita  tidak perlu  menguji keimanan puasa kita. Itu namanya takut pada godaan, bukan melawan godaan saudarasaudara sekalian.
Hadirin sekalian yang saya banggakan!
Puasa seharusnya membuat kita takut lalu berupaya menghindari godaan. Karena sesungguhnya kadar keimanan kita bisa teruji justeru ketika menghadapi godaan di sekitar kita. Tidak perlu kita melarang semua orang untuk menyebarkan potensi godaan, justeru kitalah yang harus berkata “wahai kau semua godaan hidup, datanglah, karena sesungguhnya iman ini tak akan goyah karenanya.” Disanalah inti keteguhan iman ditemukan, ketika ribuan rongsokan godaan menghambur kearah kita, namun kita tegar tak bergeser sedikitpun. Bukan malah secara lantang dan angkuh meminta orang lain untuk tidak menggoda kita.
Berpuasa tidak boleh menjadi sesuatu yang membuat kita merasa lebih mulia dan istimewa, karenanya kita lalu menuntut orang lain berkorban demi puasa yang sedang kita jalani.Justru berpuasa haruslah menjadi tiang pancang dari dalam diri kita sendiri, dimana diatasnya lalu kita bangun keteguhan dan kekokohan iman yang tak lekang diterpa godaan. Kita tidak boleh setuju dengan cara-cara yang lalu menggunakan kekerasan dalam menertibkan perilaku orang lain. Justeru perilaku kitalah yang kemudian harus memberi warna sejuk, bahwa kita yang berpuasa adalah cermin keteduhan dan kesederhanaan hidup, tanpa embel-embel kehidupan yang fana dan sementara, utuh dalam inti iman.
Hadirin sekalian yang saya cintai!
Berpuasa harusnya bukan hanya sekedar ibadah diatas janji akan pahala dan ancaman akan dosa. Puasa harusnya menjadi sikap hidup dan refleksi atas apa yang terjadi pada sebelas bulan sebelumnya dan keyakinan iman atas apa yang akan terjadi sebelas bulan berikutnya. Seperti kata Goenawan Mohammad “puasa bukan sebagai deprivasi, melainkan sebagai ikhtiar kita untuk mengurangi apa yang dirasakan berlebih dan berlebihan dalam diri. Dengan kata lain, inilah puasa sebagai pilihan laku yang menangkis keserakahan. Bahkan inilah puasa sebagai reduksi agresivitas menghadapi dunia—agresivitas yang meringkus dunia jadi milik dan bagian dari sasaran konsumsi.”
Berpuasa adalah sebuah sikap, sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, hidup dan kehidupan. Kita berpuasa bukan karena puasa adalah sebuah siksa yang wajib kita jalani, dan karenanya kita berhak atas balasan istimewa di malam hari. Bukan juga karena puasa adalah sebuah ritual dimana orang lain harus ikut memikul tanggung jawab untuk mensukseskannya. Kita berpuasa karena dengan berpuasalah kita bisa meyakini, bahwa konsistensi keimanan kita telah berada di sebuah garis lurus yang tidak bergelombang pasang dan surut karena godaan dunia. Kita berpuasa karena sesungguhnya kita memang hendak menguji kekuatan diri yang hakikat menghadapi semua kebendaan dunia yang sementara dan fana.
Hadiri sekalian yang saya muliakan!
Menghadapi bulan ramadhan yang sebentar lagi menjelang, marilah kita memantapkan niat, bahwa kita benar akan memasukinya dengan puncak keihklasan kita yang utuh tanpa mengharapkan keistimewaan datang setelahnya. Juga mari kita teguhkan keberanian iman kita, bahwa berpuasa bukanlah takut  akan  godaan,  tapi  keberanian  melawan  godaan.  Juga mari kita tancapkan kesadaran kita, bahwa berpuasa adalah inti keimanan di dalam diri kita sendiri, tanpa perlu orang lain kita paksa untuk ikut memikulnya.
Hanya dengan itu, berpuasa menjadi utuh sebagai sarana merefleksikan diri kita dihadapan ketuhanan yang sejati tanpa keraguan akan iman dan ketergantungan pada benda yang fana. Semoga Tuhan senantiasa mengingatkan kita di bulan Ramadhan yang akan datang.
Wabillahi Taufiq Wal Hidayah, Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.[1]


[1] Dikutip tanggal 5 November 2013,  di http://jeffriegeovanie.com/index.php/jg-2014/379-berpuasalah-dengan-keikhlasan-yang-utuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar