Hadirin sekalian yang saya muliakan!
Sebentar lagi bulan suci ramadhan
akan menyongsong kita. Disana seluruh umat Islam akan diuji, bukan hanya
tentang menahan lapar dan dahaga, tapi juga menahan semua hal yang berhubungan
dengan kenikmatan dunia. Yang ingin saya bicarakan kali ini bukanlah sebuah
perenungan mengenai dalil-dalil agama, mengapa puasa diwajibkan atas kita.
Namun saya ingin bicara tentang suatu hal yang mungkin lebih hakiki, bagaimana
puasa kemudian menjadi gaya hidup dan menjadi industri menjelang hari raya Idul
Fitri.
Dewasa ini, bulan puasa tampaknya
telah menjadi sebuah paradoks dan ritual kemewahan yang menyerupai rutinitas
manusia, khususnya di Indonesia. Saat dimana seharusnya seluruh umat Islam
diwajibkan melakukan pengekangan nafsu dan syahwat, disaat yang sama sebagian
besar orang kemudian merasa berkewajiban untuk menyiapkan kemewahan yang berlebihan
dibanding hari-hari biasanya di luar bulan suci Ramadhan. Makanan memang tidak
tersedia di meja makan ketika fajar hingga menjelang maghrib, namun ketika
waktu sahur dan berbuka tiba, maka suguhan makanan dan minuman yang tidak biasa
terlihat, mulai disajikan. Toko-toko, mal-mal, restoran-restoran berlomba untuk
menawarkan paket berbuka puasa yang tidak biasanya. Berpuasa lalu hanya menjadi
ritual di siang hari, dan di malam hari semua orang merasa berhak mabuk dalam
kebebasan nafsunya.
Hadirin sekalian yang saya hormati!
Berpuasa tentulah memiliki makna
kesederhanaan. Jika yang kita konsumsi di bulan ramadhan jauh lebih mewah dari
yang kita konsumsi di hari-hari biasa, maka sesungguhnya kita tidak sedang
mengekang hawa nafsu, kita justru sedang menggunakan bulan ramadhan sebagai
alasan untuk melampiaskan nafsu untuk hidup bermewah-mewahan.
Bulan puasa nampaknya memang telah
menjadi momentum pembenaran, untuk mendapatkan sesuatu yang tidak mungkin
didapatkan di sebelas bulan sebelumnya. Mal-mal dan pusat perbelanjaan menjadi
lebih semarak dari biasanya, perang diskon dan paket lebaran terpajang di
hampir setiap sudut perbelanjaan. Transaksi meningkat
tajam, tabungan habis terkuras, sementara sebagian orang menonton
karena warung tempat mereka bekerja tutup sebulan
penuh. Orang-orang yang sedang berpuasa, merasa bisa melupakan sejenak
rasa lapar dan hausnya dengan berbelanja, toh transaksi keuangan tidak
membatalkan puasa seseorang.
Hadirin sekalian yang saya
banggakan!
Lalu kita dengan angkuhnya melarang
orang lain menggoda iman berpuasa kita. Restoran tidak boleh buka di siang
hari, tapi supermarket ramai dikunjungi oleh orang-orang yang berpuasa. Kita
melarang tempat hiburan malam untuk buka, tapi orang yang berpuasa enggan
memberikan sedekahnya bagi pekerja yang harus kehilangan penghasilan karena tutupnya
tempattempat tersebut.
Kita juga mengharamkan setiap pemandangan
yang mengakibatkan godaan atas rusak atau berkurangnya pahala dari puasa kita,
sementara kita sendiri secara berlebihan membeli semua
persiapan buka puasa, seakan kita berhak untuk makan berlebihan
ketika maghrib menjelang.
Inilah paradoks bulan ramadhan,
puasa lalu menjadi alasan bahwa lapar dan haus yang kita tahankan
dari fajar hingga petang adalah bentuk pengorbanan tiada tara, dan karenanya
kita berhak untuk menerima kebebasan kita dari petang hingga fajar esoknya.
Puasa lalu menjadi semacam alasan kita untuk meminta orang lain agar tidak
melakukan godaan-godaan duniawi. Kita seakan-akan ketakutan pada godaan,
sehingga merasa perlu menciptakan larangan ini dan larangan itu agar godaan
tidak mendatangi kita. Padahal, bukankah puasa adalah ibadah melawan godaan?
bukannya meniadakan godaan sehingga kita tidak perlu menguji
keimanan puasa kita. Itu namanya takut pada godaan, bukan melawan godaan
saudarasaudara sekalian.
Hadirin sekalian yang saya
banggakan!
Puasa seharusnya membuat kita takut
lalu berupaya menghindari godaan. Karena sesungguhnya kadar keimanan kita bisa
teruji justeru ketika menghadapi godaan di sekitar kita. Tidak perlu kita
melarang semua orang untuk menyebarkan potensi godaan, justeru kitalah yang
harus berkata “wahai kau semua godaan hidup, datanglah, karena sesungguhnya
iman ini tak akan goyah karenanya.” Disanalah inti keteguhan iman ditemukan,
ketika ribuan rongsokan godaan menghambur kearah kita, namun kita tegar tak
bergeser sedikitpun. Bukan malah secara lantang dan angkuh meminta orang lain
untuk tidak menggoda kita.
Berpuasa tidak boleh menjadi sesuatu
yang membuat kita merasa lebih mulia dan istimewa, karenanya kita lalu menuntut
orang lain berkorban demi puasa yang sedang kita jalani.Justru berpuasa
haruslah menjadi tiang pancang dari dalam diri kita sendiri, dimana diatasnya
lalu kita bangun keteguhan dan kekokohan iman yang tak lekang diterpa godaan.
Kita tidak boleh setuju dengan cara-cara yang lalu menggunakan kekerasan dalam
menertibkan perilaku orang lain. Justeru perilaku kitalah yang kemudian harus
memberi warna sejuk, bahwa kita yang berpuasa adalah cermin keteduhan dan
kesederhanaan hidup, tanpa embel-embel kehidupan yang fana dan sementara, utuh
dalam inti iman.
Hadirin sekalian yang saya cintai!
Berpuasa harusnya bukan hanya
sekedar ibadah diatas janji akan pahala dan ancaman akan dosa. Puasa harusnya
menjadi sikap hidup dan refleksi atas apa yang terjadi pada sebelas bulan
sebelumnya dan keyakinan iman atas apa yang akan terjadi sebelas bulan
berikutnya. Seperti kata Goenawan Mohammad “puasa bukan sebagai deprivasi,
melainkan sebagai ikhtiar kita untuk mengurangi apa yang dirasakan berlebih dan
berlebihan dalam diri. Dengan kata lain, inilah puasa sebagai pilihan laku yang
menangkis keserakahan. Bahkan inilah puasa sebagai reduksi agresivitas
menghadapi dunia—agresivitas yang meringkus dunia jadi milik dan bagian dari
sasaran konsumsi.”
Berpuasa adalah sebuah sikap, sikap
kita untuk Tuhan, manusia sesama, hidup dan kehidupan. Kita berpuasa bukan
karena puasa adalah sebuah siksa yang wajib kita jalani, dan karenanya kita
berhak atas balasan istimewa di malam hari. Bukan juga karena puasa adalah
sebuah ritual dimana orang lain harus ikut memikul tanggung jawab untuk
mensukseskannya. Kita berpuasa karena dengan berpuasalah kita bisa meyakini,
bahwa konsistensi keimanan kita telah berada di sebuah garis lurus yang tidak
bergelombang pasang dan surut karena godaan dunia. Kita berpuasa karena
sesungguhnya kita memang hendak menguji kekuatan diri yang hakikat menghadapi
semua kebendaan dunia yang sementara dan fana.
Hadiri sekalian yang saya muliakan!
Menghadapi bulan ramadhan yang
sebentar lagi menjelang, marilah kita memantapkan niat, bahwa kita benar akan
memasukinya dengan puncak keihklasan kita yang utuh tanpa mengharapkan
keistimewaan datang setelahnya. Juga mari kita teguhkan keberanian iman kita,
bahwa berpuasa bukanlah takut akan godaan, tapi
keberanian melawan godaan. Juga mari kita tancapkan kesadaran
kita, bahwa berpuasa adalah inti keimanan di dalam diri kita sendiri, tanpa
perlu orang lain kita paksa untuk ikut memikulnya.
Hanya dengan itu, berpuasa menjadi
utuh sebagai sarana merefleksikan diri kita dihadapan ketuhanan yang sejati
tanpa keraguan akan iman dan ketergantungan pada benda yang fana. Semoga Tuhan
senantiasa mengingatkan kita di bulan Ramadhan yang akan datang.
Wabillahi Taufiq Wal Hidayah,
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.[1]
[1]
Dikutip
tanggal 5 November 2013, di http://jeffriegeovanie.com/index.php/jg-2014/379-berpuasalah-dengan-keikhlasan-yang-utuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar